Mewujudkan guru matematika profesional yang inovatif, kreatif, inspiratif, dan berwawasan luas

Halaman

Saturday, June 8, 2024

Berbagi Praktik Baik Implementasi Kurikulum Merdeka: Asesmen dan Pembelajaran Berdiferensiasi serta Penerapan Segitiga Restitusi

Kegiatan berbagi praktik baik implementasi kurikulum merdeka yang dilaksanakan MGMP Matematika SMP Kota Makassar kali ini bertemakan Asesmen dan Pembelajaran Berdiferensiasi serta Penerapan Segitiga Restitusi. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 8 Juni 2024, bertempat di aula PT Penerbit Erlangga, jalan Letjen Hertasning No. 50 Makassar. Kegiatan ini sedianya dibuka langsung oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar. Akan tetapi karena beliau mendadak mendapat tugas ke luar daerah, maka acara dibuka oleh bapak Najamuddin, S.Pd., M.Pd. selaku ketua MGMP Matematika SMP Kota Makassar. Setelah pembukaan, kegiatan lalu dilanjutkan dengan pemaparan materi dari 2 orang narasumber. Adapun narasumber berbagi praktik baik kali ini yaitu ibu Sri Nurnawati Dahlan, S.Pd. yang merupakan guru di UPT SPF SMP Negeri 3 Makassar dan ibu Sitti Sabetia, S.Pd. merupakan guru di UPT SPF SMP Negeri 36 Makassar.

Materi pertama yang dibawakan oleh ibu Sri Nurnawati Dahlan berjudul Asesmen dan Pembelajaran Berdiferensiasi. Ibu Sri mengawali paparannya dengan menjelaskan bahwa asesmen awal merupakan proses penilaian untuk mengetahui kemampuan dasar peserta didik dan mengetahui kondisi awal mereka sebelum merancang suatu pembelajaran (berdiferensiasi). Asesmen awal terdiri dari 2 jenis, yaitu asesmen kognitif dan non kognitif. Asesmen awal kognitif bertujuan untuk mendiagnosis kemampuan dasar atau kesiapan belajar peserta didik (seperti : sudah paham, paham setengah, dan belum paham) dalam topik/tema sebuah mata pelajaran yang akan diajarkan. Guru melakukan asesmen awal kognitif untuk menyesuaikan tingkat pembelajaran dengan kemampuan siswa, bukan untuk mengejar target kurikulum. Sedangkan asesmen awal non kognitif adalah asesmen yang dilakukan untuk mengukur aspek-aspek dari individu yang tidak berkaitan langsung dengan kemampuan kognitif atau akademik. Asesmen ini biasanya mencakup penilaian terhadap aspek-aspek seperti : kepribadian, minat, motivasi, sikap, nilai-nilai, dan keterampilan sosial-emosional dan gaya belajar (auditor, visual dan kinestetik).

Adapun tujuan asesmen awal non kognitif adalah sebagai berikut:

  1. Mengetahui kesejahteraan psikologi dan sosial emosi siswa
  2. Mengetahui aktivitas selama di rumah
  3. Mengetahui kondisi keluarga siswa
  4. Mengetahui latar belakang pergaulan siswa
  5. Mengetahui gaya belajar, karakter serta minat siswa
Sedangkan tujuan asesmen awal kognitif adalah sebagai berikut:
  1. Mengidentifikasi capaian kompetensi siswa (sudah paham, paham setengah, dan belum paham)
  2. Menyesuaikan pembelajaran (berdiferensiasi) di kelas sesuai kategori capaian kompetensi siswa
  3. Memberikan kelas remedial atau pelajaran tambahan kepada siswa yang kompetensinya di bawah rata-rata (belum paham)

Setelah melakukan asesmen awal, guru melakukan tindak lanjut terhadap hasil asesmen awal non kognitif maupun kognitif. Untuk menindaklanjuti hasil asesmen awal non kognirif, guru melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Identifikasi siswa dengan ekspresi emoji negatif dan ajak berdiskusi empat mata 
  2. Jika siswa dianggap memiliki masalah serius, dapat dilimpahkan ke guru BK atau memanggil orang tua siswa
  3. Untuk gaya belajar
    • Auditor : belajar dengan mendengarkan ceramah, diskusi, dan audio book
    • Visual : belajar dengan menggunakan gambar, diagram, peta, dan video
    • Kinestetik : belajar dengan cara praktik, eksperimen, dan bermain peran
Sementara untuk menindaklanjuti hasil asesmen awal kognitif, guru melakukan pengolahan hasil asesmen (Lihat rata-rata kelas)
  1. Siswa dengan nilai asesmen kognitif di atas nilai rata-rata adalah siswa kategori “Sudah Paham”
  2. Siswa dengan nilai asesmen kognitif sama dengan nilai rata-rata adalah siswa  kategori “Paham setengah”
  3. Siswa dengan nilai asesmen kognitif di bawah nilai rata-rata adalah siswa kategori “Belum paham”
  4. Dari tiga kategori siswa di atas, guru dapat membagi 2 kelompok yaitu : Kelompok “Sudah paham” sedangkan Kelompok “Paham setengah” dan “Belum paham” dapat digabung
  5. Untuk kelompok “Sudah paham” : mengikuti pembelajaran dengan pengayaan
  6. Untuk kelompok “Paham setengah” dan “Belum paham”  : mengikuti pembelajaran dengan ATP sesuai fasenya dengan diberikan pendampingan pada kompetensi yang belum terpenuhi oleh guru dan orang tua/wali siswa.
Selanjutnya narasumber menjelaskan bahwa modul pembelajaran berdiferensiasi adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan belajar individu siswa yang beragam. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip bahwa setiap siswa memiliki gaya belajar (auditor, visual dan kinestetik), kesiapan belajar (“Sudah paham”, “Paham setengah” dan “Belum paham”. Oleh karena itu, modul pembelajaran berdiferensiasi menawarkan berbagai pilihan aktivitas belajar yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu siswa sehingga tercipta suasana pembelajaran yang berbeda dari segi konten, proses, dan produk.
Ibu Sri juga menambahkan penerapan gelar karya akhir fase yang diterapkan di sekolah tempat beliau mengajar. Dimana gelar karya akhir fase yang dilaksanakan di sekolahnya dilaksanakan sebagai pengganti Ujian Akhir Sekolah. Sehingga siswa kelas 9 tidak lagi mengikuti Ujian Akhir Sekolah melainkan diharuskan mengikuti gelar karya akhir fase yang mendapatkan bobot penilaian sebesar 40% pada nilai ijazah. Dalam pelaksanaannya, siswa memilih karya apa yang akan mereka buat sekaligus memilih guru sebagai pendamping dalam menyelesaikan karyanya. Kegiatan ini juga tidak lepas dari kerjasama yang dibangun oleh pihak sekolah dengan orang tua siswa.

Materi selanjutnya adalah penerapan segitiga restitusi yang dibawakan oleh ibu Sitti Sabetia, S.Pd. Ibu Sitti menjelaskan bahwa Guru yang baik harus memiliki kemampuan dalam mewujudkan budaya positif di sekolah. Budaya positif tersebut dapat dijalankan dengan menerapkan konsep-konsep inti seperti disiplin positif, memahami motivasi perilaku manusia berkaitan dengan hukuman dan penghargaan, posisi kontrol seorang guru, pembuatan keyakinan sekolah/ kelas, dan penerapan segitiga restitusi dalam penyelesaian masalah. Disiplin positif merupakan cara penerapan disiplin yang mengajarkan anak bertanggung jawab dan menumbuhkan kesadaran diri berdasarkan nilai-nilai kebajikan. Disiplin positif lebih ke arah disiplin diri yang dapat mengontrol diri dalam melakukan segala tindakan. Hal ini dapat membuat murid memahami dan menyadari berdasarkan motivasi internal, bukan akibat paksaan, pujian atau hukuman.

Adapun motivasi perilaku manusia adalah sebagai berikut:

  • untuk menghindari ketidaknyamanan/ hukuman
  • untuk mendapatakan imbalan/ penghargaan dari orang lain
  • untuk menjadi orang yang mereka diinginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-niai yang mereka percaya
Dari ketiga motivasi tersebut di atas, motivasi yang merupakan motivasi internal adalah untuk menjadi orang yang mereka diinginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-niai yang mereka percaya. Oleh karena itu, hindari pemberian hukuman dan pemberian penghargaan berlebihan agar meminimalisir motivasi eksternal dalam diri murid.

Posisi kontrol seorang guru bisa saja sebagai penghukum, pembuat rasa bersalah, teman, pemantau, atau manajer. 
  1. Jika guru berada pada posisi sebagai penghukum, maka guru akan menghardik, menunjuk-nunjuk, berkacak pinggang, membentak, serta hukuman berupa fisik dan verbal. Akibatnya, murid menjadi pendendam dan tidak menyukai guru/ mata peajarannya.
  2. Jika guru berada pada posisi membuat rasa bersalah, maka suara guru cenderung melembut, tenang, namun kata-katanya menyalahkan murid dan menyatakan hal-hal yang merasa kesalahan ada pada murid dengan membuat guru menderita. Akibatnya, membuat murid merasa bersalah (Identitas gagal), rendah diri, dan menarik diri dari lingkungan.
  3. Jika guru berada pada posisi sebagai teman, maka suara guru akan ramah dan cenderung bersenda gurau untuk menghangatkan suasana. Akibatnya, murid akan bergantung pada 1 orang (faktor ketergantungan), murid tidak mandiri, dan tidak bisa berpikir untuk diri sendiri.
  4. Jika guru berada pada posisi sebagai pemantau, maka guru bersuara datar, tidak emosional, tidak bersenda gurau ataupun menggunakan suara tinggi, tercipta identitas diri positif atau berhasil, dan pemantau perlu senantiasa memantau pada saat murid diberikan sanksi maka gurupun harus selalu mengawasi. Akibatnya, murid akan menghitung konsekuensi dan hadiah tanpa memahami sepenuhnya nilai kebajikan yang dituju serta murid tidak sepenuhnya mandiri.
  5. Jika guru berada pada posisi sebagai manajer, maka suara guru netral, tidak emosional, tidak terlalu ramah dan tidak bernada tinggi. Tercipta identitas positif/ berhasil, guru akan dengan tulus mengajukan pertanyaan-pertanyaan bermakna agar membuka pikiran murid, dan guru membimbing murid untuk memecahkan masalahnya secara mandiri. Akibatnya, murid mandiri dan percaya diri serta dapat memecahkan masalah.

Guru berperan dalam mewujudkan terbentuknya keyakinan kelas/ sekolah dengan adanya kesepakatan antara murid dan guru. Keyakinan kelas berisi nilai-nilai keyakinan universal yang mudah diingat, diapahami dan diterapkan di lingkungan sekolah. Seorang guru yang memiliki kontrol sebagai manager dalam menyelesaikan masalah akan menerapkan segitiga restitusi untuk menghasilkan murid yang bertanggung jawab. Segitiga restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi peserta didik untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004 dalam LMS Guru Penggerak Modul 1.4 Budaya Positif).

Peserta bisa mengunduh kelengkapan administrasi berupa undangan, daftar hadir, foto dokumentasi, materi, dan sertifikat melalui tautan berikut:
Share:

Visi

"Mewujudkan guru matematika profesional yang inovatif, kreatif, inspiratif, dan berwawasan luas"

Komentar Terbaru

Translate

Followers

About Me

Maps

Guru Itung. Powered by Blogger.